Sejak mendapat suntikan dana dari beberapa perusahaan investasi di tahun 2016 kemarin, nilai perusahaan Go-Jek menjadi Rp17 triliun rupiah, lebih tinggi daripada Garuda Indonesia (Rp12 triliun dan Blue Bird (Rp9,8 triliun). “Sekarang punya motor lebih keren daripada punya pesawat coy..” canda seorang teman. Ya, siapa sangka perusahaan seperti Go-Jek yang sebenarnya bahkan tidak memiliki aset fisik besar justru lebih bernilai dari perusahaan-perusahaan raksasa transportasi. Padahal konon secara arus kas, Go-Jek bisa dibilang belum menghasilkan keuntungan. Tahun lalu bahkan sempat tersiar kabar, Go-Jek mengaku nyaris “kehabisan bensin” gara-gara terus “membakar” uang untuk subsidi harga dan pengembangan usaha. Lantas apa yang membuat industri startup digital ini demikian hot di Indonesia? 

valuasi gojek

sumber: TechCrunch, Wall Street Journal, Bareksa

Lahirnya perusahaan-perusahaan “anak kemarin sore” seperti Go-Jek, Traveloka, atau Tokopedia yang tiba-tiba mengguncang korporasi raksasa menunjukkan betapa bisnis baru (startup) berbasis teknologi bukanlah sesuatu yang remeh. Michael E Porter, seorang pakar strategi bisnis dari Harvard Business School pernah mengatakan untuk unggul dalam persaingan, sebuah usaha perlu menjalankan kegiatan dengan cara yang berbeda dari kompetitor. Bukan sekedar lebih baik. Dan itulah tepatnya yang dilakukan Go-Jek, Traveloka, atau startup-startup digital lainnya. Mereka mengubah cara orang dalam bertransportasi, berjual-beli, dan sebagainya.

 

Sebagian perusahaan konvensional yang terlambat sadar, akhirnya mencoba mengikuti jejak “anak-anak kemarin sore” tersebut. Mereka akhirnya mencoba memasukkan teknologi ke dalam inti bisnisnya. Tapi sayang mereka telah kehilangan momentum. Sebagian pelanggan terlanjur jatuh hati menggunakan aplikasi si rival baru. Dan lagi.. membelokkan kapal raksasa tidak semudah dan secepat membelokkan perahu boat. Merubah strategi bisnis korporasi raksasa seringkali tidak sedinamis pergerakan rival startup nya. Lantas apa yang terjadi? Sebagian perusahaan raksasa tua ini tutup dan bangkrut. Sebagai contoh Kodak, Blockbuster (perusahaan persewaan CD/DVD terbesar di dunia), atau Borders (toko buku terbesar di Amerika). Tapi sebagian perusahaan akhirnya sukses beradaptasi dan kembali memimpin pasar. Contoh paling fenomenal adalah Apple yang dulu nyaris bangkrut pada tahun 1997 sebelum akhirnya berinovasi menjadi perusahaan Apple yang kita kenal sekarang. Atau ada juga yang saling berkolaborasi seperti contoh kerjasama Blue Bird dengan Go-Jek, melalui layanan Go-Car baru-baru ini.

Lantas bagaimana kita dapat melahirkan startup-startup baru yang merubah Indonesia? Bagaimana agar muncul lebih banyak Go-Jek atau Traveloka baru?

Dalam kunjungan di Silicon Valley awal tahun 2016 yang lalu, Bapak Presiden Joko Widodo telah mendeklarasikan visi untuk menjadikan Indonesia sebagai ‘The Digital Energy of Asia’. Sejalan dengan visi tersebut kemudian lahirlah Gerakan Nasional 1000 Startup Digital. Gerakan ini dipelopori oleh Kementrian Komunikasi dan Informatika bersama dengan KIBAR, dengan tujuan untuk melahirkan setidaknya 1000 perusahaan digital baru dengan nilai valuasi bisnis USD 10 milliar pada tahun 2020. Untuk mencapai target tersebut, mulai pertengahan kedua 2016 lalu terus dilakukan pembinaan dan mentoring secara sistematis di 10 kota besar di Indonesia. 

Sistem pembinaan diawali dari tahap Ignition, yaitu seminar untuk menanamkan pola pikir entrepreneurship bagi para peserta. Dan peserta akan disaring menuju tahap kedua yaitu Workshop. Disini peserta dibekali dengan keahlian dasar dalam membangun startup digital. Tahap ketiga, peserta yang lolos akan mengikuti Hacksprint, dimana peserta dengan latar belakang keahlian (skill set) yang berbeda akan dibentuk menjadi team yang solid untuk membuat sebuah prototype produk. Selanjutnya di dalam Bootcamp, peserta mendapat bimbingan langsung dari para mentor untuk menyiapkan peluncuran produk startup mereka. Dan terakhir di tahap Incubation, startup yang baru lahir ini akan dibina secara intensif untuk siap jadi bagian dari ekosistem startup yang sukses. Kebetulan saya juga dipercaya menjadi salah satu mentor di gerakan ini. Saya berharap nantinya akan lahir startup-startup besar di tanah air.

gerakan nasional 1000 startup digital

Startup digital yang sukses biasanya lahir dari ekosistem yang mendukung. Banyak potensi anak-anak muda bertalenta yang sayangnya gagal melahirkan startup yang sukses hanya gara-gara kurangnya support dan mentorship. Salah satu fasilitas pendukung bagi startup awal adalah dengan adanya co-working space. Co-working space bisa diibaratkan sebuah kantor bersama untuk bekerja dan berkolaborasi. Dibanding menyewa ruko atau tempat sendiri, menjadi anggota di sebuah co-working space memiliki beberapa keuntungan. Selain lebih hemat biaya, co-working space seringkali mengadakan berbagai acara pelatihan dan networking, seperti seminar, talkshow, workshop, dan sebagainya. Disana selain menambah ilmu, kita juga dapat bertemu calon partner, rekan kerja, klien, atau bahkan investor. 

Salah satu contoh Startup yang bermodel on demand service adalah Meme Florist, sebuah platform florist online yang melayani pemesanan bunga dan hadiah di lebih dari 50 kota di Indonesia. Melalui layanan ini orang dapat memesan bunga/hadiah dengan mudah ke seluruh penjuru tanah air, dengan mendapat jaminan kualitas dan pengiriman yang prima.

Untuk mengikuti trend dan perkembangan Startup di tanah air maupun internasional, kita dapat membaca beberapa media yang khusus membahas dunia Startup. Diantaranya adalah Tech in Asia atau DailySocial.

Salam.

Silakan SHARE